Tradisi Menarik Mocoan dan Lontar Yusuf Masyarakat Osing di Desa Kampunganyar
Tanggal Publikasi
Ditulis Oleh
Laura Pohan

Desa Kampunganyar, Banyuwangi — Pada Minggu, 17 Agustus 2025 bertepatan dengan HUT RI Ke-80, warga Dusun Panggang melaksanakan tradisi tahunan, yaitu Mocoan dan Lontar Yusuf. Kegiatan ini merupakan warisan budaya masyarakat Osing yang masih terjaga hingga kini. Bertujuan menjadi sarana doa bersama untuk memohon keselamatan, menolak bala, sekaligus mempererat silaturahmi antarwarga.
Acara dimulai dengan makan bersama di Balai Dusun Panggang yang dimasak oleh ibu-ibu setempat. Seusai makan, empat orang pembaca yang sudah disiapkan secara bergantian melantunkan kisah Nabi Yusuf dari naskah kuno beraksara Arab Pegon. Bacaan dilakukan dengan nada khas, penuh penghayatan, dan disimak dengan khidmat oleh warga yang hadir dan berlangsung dari pukul 10 malam sampai 2 pagi.
Kepala Dusun Panggang turut hadir mendampingi warga. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan apresiasi atas semangat masyarakat dalam menjaga tradisi yang sudah diwariskan oleh leluhur. Desi mengungkapkan “Tradisi ini bukan hanya untuk melestarikan budaya, tetapi juga doa bersama agar warga senantiasa diberi keselamatan dan dijauhkan dari mara bahaya,” ungkapnya.
Bagi masyarakat Osing, Mocoan Lontar Yusuf memiliki makna yang mendalam. Naskahnya berisi kisah hidup Nabi Yusuf, mulai dari masa kecil, berbagai ujian yang dialami, hingga keberhasilannya menjadi sosok yang mulia. Teks tersebut ditulis dalam bentuk tembang atau pupuh berbahasa Jawa dengan aksara Pegon. Totalnya terdapat 12 pupuh, 593 bait, dan 4.366 larik, yang biasa dibacakan secara bergantian oleh beberapa orang.
Tidak hanya di Dusun Panggang, tradisi ini juga hidup di berbagai pelosok Banyuwangi. Mocoan sering dilaksanakan pada acara adat seperti bersih desa, khitanan, pernikahan, hingga selamatan. Selain sebagai hiburan, lantunan syair dalam mocoan dipercaya membawa keberkahan dan ketenteraman bagi warga yang melaksanakannya.
Sejak tahun 2019, Mocoan Lontar Yusuf resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pengakuan ini menegaskan bahwa mocoan bukan sekadar tradisi lokal, tetapi juga kekayaan budaya nasional yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi muda.
Warga Dusun Panggang masih memegang teguh semangat gotong royong dalam pelaksanaan tradisi ini. Semua rangkaian acara dilakukan bersama-sama, mulai dari menyiapkan tempat, menyediakan hidangan, hingga membaca naskah secara bergiliran. Momen kebersamaan inilah yang menjadikan mocoan lebih dari sekadar ritual, melainkan juga perekat hubungan antarwarga.
“Mocoan Lontar Yusuf ini bukan hanya sekadar membaca naskah, tapi juga wujud doa dan pengingat bagi kita semua. Di dalamnya ada pesan tentang kesabaran, kejujuran, dan keteguhan hati seperti yang dicontohkan Nabi Yusuf. Karena itu, penting sekali bagi generasi muda untuk ikut melestarikan, supaya tradisi ini tidak hilang ditelan zaman,” tutur Pak Amid, salah satu tokoh masyarakat yang sudah lama dikenal sebagai ahli dalam mocoan Lontar Yusuf di Desa Kampunganyar.
Tradisi Mocoan Lontar Yusuf di Desa Kampunganyar tahun ini kembali membuktikan bahwa kearifan lokal masyarakat Osing masih hidup di tengah arus modernisasi. Dengan menjaga dan merawatnya, warga berharap budaya ini dapat terus diwariskan dari generasi ke generasi, membawa nilai religius, moral, dan kebersamaan yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.
Acara dimulai dengan makan bersama di Balai Dusun Panggang yang dimasak oleh ibu-ibu setempat. Seusai makan, empat orang pembaca yang sudah disiapkan secara bergantian melantunkan kisah Nabi Yusuf dari naskah kuno beraksara Arab Pegon. Bacaan dilakukan dengan nada khas, penuh penghayatan, dan disimak dengan khidmat oleh warga yang hadir dan berlangsung dari pukul 10 malam sampai 2 pagi.
Kepala Dusun Panggang turut hadir mendampingi warga. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan apresiasi atas semangat masyarakat dalam menjaga tradisi yang sudah diwariskan oleh leluhur. Desi mengungkapkan “Tradisi ini bukan hanya untuk melestarikan budaya, tetapi juga doa bersama agar warga senantiasa diberi keselamatan dan dijauhkan dari mara bahaya,” ungkapnya.
Bagi masyarakat Osing, Mocoan Lontar Yusuf memiliki makna yang mendalam. Naskahnya berisi kisah hidup Nabi Yusuf, mulai dari masa kecil, berbagai ujian yang dialami, hingga keberhasilannya menjadi sosok yang mulia. Teks tersebut ditulis dalam bentuk tembang atau pupuh berbahasa Jawa dengan aksara Pegon. Totalnya terdapat 12 pupuh, 593 bait, dan 4.366 larik, yang biasa dibacakan secara bergantian oleh beberapa orang.
Tidak hanya di Dusun Panggang, tradisi ini juga hidup di berbagai pelosok Banyuwangi. Mocoan sering dilaksanakan pada acara adat seperti bersih desa, khitanan, pernikahan, hingga selamatan. Selain sebagai hiburan, lantunan syair dalam mocoan dipercaya membawa keberkahan dan ketenteraman bagi warga yang melaksanakannya.
Sejak tahun 2019, Mocoan Lontar Yusuf resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pengakuan ini menegaskan bahwa mocoan bukan sekadar tradisi lokal, tetapi juga kekayaan budaya nasional yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi muda.
Warga Dusun Panggang masih memegang teguh semangat gotong royong dalam pelaksanaan tradisi ini. Semua rangkaian acara dilakukan bersama-sama, mulai dari menyiapkan tempat, menyediakan hidangan, hingga membaca naskah secara bergiliran. Momen kebersamaan inilah yang menjadikan mocoan lebih dari sekadar ritual, melainkan juga perekat hubungan antarwarga.
“Mocoan Lontar Yusuf ini bukan hanya sekadar membaca naskah, tapi juga wujud doa dan pengingat bagi kita semua. Di dalamnya ada pesan tentang kesabaran, kejujuran, dan keteguhan hati seperti yang dicontohkan Nabi Yusuf. Karena itu, penting sekali bagi generasi muda untuk ikut melestarikan, supaya tradisi ini tidak hilang ditelan zaman,” tutur Pak Amid, salah satu tokoh masyarakat yang sudah lama dikenal sebagai ahli dalam mocoan Lontar Yusuf di Desa Kampunganyar.
Tradisi Mocoan Lontar Yusuf di Desa Kampunganyar tahun ini kembali membuktikan bahwa kearifan lokal masyarakat Osing masih hidup di tengah arus modernisasi. Dengan menjaga dan merawatnya, warga berharap budaya ini dapat terus diwariskan dari generasi ke generasi, membawa nilai religius, moral, dan kebersamaan yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.
L
Penulis
Laura Pohan
Dipublikasikan